MEMPERBANYAK TAKBIRAN DI SEPULUH AWAL DZULHIJJAH

by admin

MEMPERBANYAK TAKBIRAN DI SEPULUH AWAL DZULHIJJAH

Oleh: Dr. Ahmad Kusyairi Suhail, MA

Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (IKADI), Dosen FDI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pimpinan Ponpes YAPIDH Bekasi

Di antara amal shalih yang kurang memasyarakat dan banyak dilupakan oleh sebagian kaum muslimin, adalah memperbanyak Takbiran di sepuluh awal bulan Dzulhijjah atau yang dikenal dengan Al ‘Asyru Al Awaail Min Dzilhijjah.
Takbir, yang secara sosiologis, dalam bahasa masyarakat kita populer dengan istilah Takbiran, adalah ibadah yang sangat dianjurkan untuk dikumandangkan berhubungan dengan dua momentum besar bagi kaum muslimin, yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Takbir atau Takbiran Idul Fitri

Untuk hari raya Idul Fitri, setelah kaum muslimin menyelesaikan lengkapnya ibadah puasa Ramadhan, Allah Ta’ala memerintahkan untuk mengagungkan asma-Nya dengan takbiran sekaligus sebagai wujud syukur atas segala nikmat dari-Nya, sebagaimana firman-Nya,
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakbir (mengagungkan) Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS Al-Baqarah : 185).
Menurut Imam Qurthubi, bahwa ayat ini (terdapat dalil) perintah bertakbir di akhir Ramadhan menurut pendapat jumhur (kebanyakan) ulama tafsir ( Tafsir Al Jaami’ Li Ahkaami’l Qur’an atau populer dengan nama Tafsir Al Qurthubi , II/205).
Berarti takbiran dimulai di malam hari raya Idul Fitri, atau tepatnya sejak terbenam matahari bulan Ramadhan (maghrib) dan setelah dipastikan terlihat (rukyah) bulan Syawwal, hingga imam melakukan takbiratul ihram shalat Idul Fitri. Setelah itu sudah tidak diperintahkan takbiran lagi (Lihat: Fathul Qarib, Syekh Abu Abdillah Muhammad bin Qasim As Syafi’i, h. 227-228).
Dan takbiran boleh dilakukan sendiri-sendiri, dan boleh juga dilaksanakan secara berjama’ah. Imam Qurthubi mengutip ucapan Imam As Syafi’i ketika melihat bulan ( rukyah hilal) Syawwal, “Aku senang masyarakat melakukan takbiran jamaa’atan wa furooda, berjama’ah maupun sendiri-sendiri (Lihat: Tafsir Al Qurthubi, II/205).
Takbir atau Takbiran adalah manifestasi ketundukan dan kepasrahan diri seorang muslim kepada Allah yang Maha Besar. Takbir merupakan pengakuan jujur ketidakberdayaan kita sebagai makhluk yang lemah kepada Sang Khaliq, Allah, yang Maha Kuat. Kumandang takbir juga merupakan pernyataan dan deklarasi ego kita sebagai manusia yang kerdil di hadapan keMahaBesaran Allah Rabbul ‘Alamin.
Dengan mengumandangkan takbir, karat-karat kesombongan, kepongahan jiwa dan arogansi kita sebagai manusia, dapat terkikis habis. Dengan takbir yang menggelegar dibarengi kekhusyu’an hati, diharapkan dapat melahirkan kebugaran spiritual dan memunculkan sikap tawadhu‘ dan rendah hati.
Ada beberapa pilihan lafazh takbir, diantaranya,
اللهُ اكبَرْ, اللهُ اكبَرْ اللهُ اكبَرْ لاالٰهَ اِلاالله وَاللهُ اَكبر, اللهُ اكبَرُوَِللهِ الحَمْد
Allaahu akbar allaahu akbar allaahu akbar. laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar. Allaahu akbar wa lillaahil-hamd.
Artinya:
Allah maha besar Allah maha besar Allah maha besar. Tidak ada tuhan melainkan Allah, dan Allah maha besar, Allah maha besar dan segala puji bagi Allah.

Memperbanyak Takbiran di Sepuluh Hari Pertama Dzulhijjah adalah Amalan Generasi Terbaik

Lalu bagaimana dengan Takbiran di Sepuluh Hari Pertama Dzulhijjah dan hari raya Idul Adha?
Masalah memperbanyak takbir atau takbiran di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, sesungguhnya bukanlah masalah baru. Tapi, sudah disinggung oleh banyak para ulama dalam kitab-kitab klasik. Sehingga, ini merupakan amal ibadah, dan tidak perlu meragukan orisinalitas dan vailiditasnya. Bahkan, ternyata hal ini merupakan amalan generasi terbaik; para sahabat dan tabi’in dan tabi’t tabi’in.
Dasar pijakannya, di antaranya firman Allah ta’ala,
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan” (QS. Al Hajj: 28). Ayyam ma’lumaat menurut salah satu penafsiran adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Pendapat ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama di antaranya Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum, Hasan Al Bashri, ‘Atho’, Mujahid, ‘Ikrimah, Qotadah dan An Nakho’i, termasuk pula pendapat Abu Hanifah, Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad (pendapat yang masyhur dari beliau) rahimahumullah (Lihat: Tafsir Ibnu Katsir III/429) dan lihat pula perkataan Imam Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitab Lathoif Al Ma’arif, hal. 462 dan 471.
Imam Bukhari menyebutkan,
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِى أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ أَيَّامُ الْعَشْرِ، وَالأَيَّامُ الْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِى أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ، وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا. وَكَبَّرَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِىٍّ خَلْفَ النَّافِلَةِ.
Ibnu ‘Abbas berkata, “Berdzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang ditentukan yaitu 10 hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari tasyriq.” Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijah, lalu mereka bertakbir, lantas manusia pun ikut bertakbir. Muhammad bin ‘Ali pun bertakbir setelah shalat sunnah. (HR Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad), pada Bab “Keutamaan Beramal di Hari Tasyriq”). Imam Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir nya (III/429) menyebutkan hadits Imam Ahmad dengan sanad dari sahabat Ibnu Umar RA, berkata, Rasulullah SAW bersabda,
ما من أيام أعظم عند الله ولا أحب إليه العمل فيهن من هذه الأيام العشر، فأكثروا فيهن من التهليل التكبير والتحميد
Tidak ada hari-hari yang amal (shalih) lebih agung di sisi Allah dan lebih dicintai oleh-Nya melebihi amal (shalih) yang dilakukan di hari-hari sepuluh (pertama Dzulhijjah) ini. Maka, perbanyaklah kalian di hari-hari sepuluh pertama Dzulhijjah, tahlil, takbir dan tahmid (HR Ahmad dalam Musnad nya, no. 5446, dan menurut Syekh Ahmad Syakir isnadnya shahih). Lalu Imam Ibnu Katsir juga menukil perkataan Imam Bukhari di atas, yaitu bahwa sahabat Ibnu Umar RA dan Abu Hurairah RA pernah keluar ke pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijah, lalu mereka bertakbir, lantas masyarakat pun ikut bertakbir (Lihat: Tafsir Ibnu Katsir, III/429).
Takbir yang dimaksudkan dalam penjelasan di atas adalah sifatnya muthlaq, artinya tidak dikaitkan pada waktu dan tempat tertentu. Jadi boleh dilakukan di pasar, masjid, dan saat berjalan. Takbir tersebut dilakukan dengan mengeraskan suara khusus bagi laki-laki.
Di dalam salah satu kitab rujukan Fiqh Madzhab Syafi’i, yaitu Al Fiqh Al Manhaji ‘Ala Madzhab Al Imam Asy Syafi’i (Juz I hal. 226), disebutkan bahwa sahabat Ibnu Umar RA melakukan takbir itu di Mina, lalu didengar ahli masjid, mereka pun bertakbir, dan bertakbir pula orang-orang di pasar hingga takbir bergemuruh menggoncang Mina.
Ada juga takbir yang sifatnya muqoyyad, artinya dikaitkan dengan waktu tertentu, yaitu dilakukan setelah shalat fardhu berjama’ah.
Takbir muqoyyad bagi orang yang tidak berhaji dilakukan mulai dari shalat Shubuh pada hari ‘Arofah (tanggal 9 Dzulhijah) hingga waktu ‘Ashar pada hari tasyriq yang terakhir (tanggal 13 Dzulhijjah). Adapun bagi orang yang berhaji dimulai dari shalat Zhuhur hari Nahr/Hari Raya Idul Adha (tanggal 10 Dzulhijah) hingga hari tasyriq yang terakhir.
Syekh Dr. Wahbah Az Zuhaili di dalam kitabnya yg populer, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu (II/h. 386) mengatakan,
ويستحب التكبير في أيام العشر من ذي الحجة وهي الأيام المعلومات، لقوله تعالى: “ويذكروا اسم الله في أيام معلومات”.
Dan disunnahkan takbir juga di sepuluh hari pertama Dzulhijjah, dan itu adalah Ayyam Ma’lumat (hari-hari yang telah ditentukan), berdasarkan firman Allah, “Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan” (QS Al Hajj: 28). Sebagian lagi, memasukkan takbir di sepuluh hari pertama Dzulhijjah, termasuk amal shalih yang dicintai Allah sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ. يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ
Tidak ada hari yang amal shalih lebih dicintai Allah melebihi amal shalih yang dilakukan di sepuluh hari ini (yakni sepuluh hari pertama Dzulhijjah).” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, termasuk lebih utama dari jihad fi sabilillah? Nabi _shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Termasuk lebih utama dibanding jihad fi sabilillah. Kecuali orang yang keluar dengan jiwa dan hartanya (ke medan jihad), dan tidak ada satupun yang kembali (yakni mati syahid dan hartanya dirampas musuh).” (HR. Bukhari, no. 969, dan Turmudzi, no. 757, Ahmad, no. 1968).
Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Tidak ada amalan yang lebih suci di sisi Allah dan tidak ada yang lebih besar pahalanya dari pada kebaikan yang dia kerjakan pada sepuluh hari al-Adha.” (HR. Ad-Daruquthni dalam Sunan nya, dan di hasan kan oleh Syekh Albani).
Imam Ibn Rajab mengatakan, hadits ini menunjukkan bahwa beramal pada sepuluh hari bulan Dzulhijjah lebih dicintai di sisi Allah dari pada beramal pada hari-hari yang lain, tanpa pengecualian.
وإذا كان أحب إلى الله فهو أفضل عنده
Dan apabila suatu amal itu lebih dicintai oleh Allah, artinya amal tersebut lebih afdhal (lebih utama) di sisi-Nya” (Lihat: Lathaiful Ma’arif, hal. 456).
Dalam kitab At Targhib wa At Tarhib (II/150), Imam Al Mundziri menceritakan, bahwa Sa’id bin Jubair (murid senior sahabat Ibnu Abbas), ketika memasuki tanggal satu Dzulhijjah, beliau sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah, sampai hampir tidak mampu melakukannya, saking semangatnya.
Takbiran di sepuluh hari pertama Dzulhijjah juga termasuk dalam keumuman keutamaan dzikir sebagaimana hadits riwayat Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda,
أَحَبُّ الْكَلَامِ إِلَى اللهِ أَرْبَعٌ: سُبْحَانَ اللهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ. لَا يَضُرُّكَ بِأَيِّهِنَّ بَدَأْتَ
Kalimat yang paling Allah cintai ada 4: Subhanallah, Alhamdulillah, Laa ilaaha illallah, dan Allahu akbar. Kamu mulai dengan kalimat manapun, tidak jadi masalah. (HR. Muslim, no. 2137).
Dari pemaparan di atas, jelaslah bagi kita tentang masyru’iyyah (disyari’atkannya, dianjurkannya) dan asholah (orisinalitas) takbiran di sepuluh hari pertama Dzulhijjah, tentu dengan tetap menghormati kalau ada pendapat lain. Masalah ini termasuk bagian dari keluasan dan keluwesan ajaran Islam. Yang paling penting, adalah kesungguhan kita, khususnya di hari-hari mulia ini, untuk memperbanyak amal shalih, dan semangat dalam melakukan kebaikan dan perbaikan, sehingga terwujud kebaikan dan keberkahan kehidupan individu, keluarga dan masyarakat serta kebaikan bangsa dan negara menuju Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur. Dan akhirnya, kita pun semoga dapat meraih kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat (As Sa’aadah fi’d Daaroin) Allahumma Amin…

Mekkah Al Mukarromah, 01 Dzulhijjah 1444 H / 19 Juni 2023 M.

You may also like

Menebar Islam Rahmatan Lil 'Alamin